Rabu, 12 September 2018

SARMADAN DALAM DAKWAH "KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM"

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM


Muharram termasuk salah satu dari empat Bulan Haram (bulan-bulan yang memiliki kehormatan lebih dibandingkan bulan-bulan yang lainnya) dalam Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an (yang artinya),

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya EMPAT BULAN HARAM.” (QS. At-Taubah: 36)

Keempat bulan itu adalah:
 Muharram,
 Rajab,
 Dzulqo’dah, dan
 Dzulhijjah,
sebagaimana yang dideklarasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat haji perpisahan.

 Disebut Bulan Haram karena ia mengandung kemuliaan lebih (dari bulan-bulan lainnya) dan karena pada bulan-bulan ini diharamkan untuk berperang. (Tafsir As-Sa’di, hlm.192)

 Cukuplah menunjukkan kemuliaan bulan Muharram ini ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjulukinya sebagai bulan Allah , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

 Kata para ulama’, segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu memiliki kemuliaan lebih daripada yang tidak disandarkan kepada-Nya, seperti baitullah (rumah Allah), Rasulullah (utusan Allah), dan lain-lain.

 Dalam Islam, bulan Muharram memiliki nilai historis (sejarah) yang luar biasa;
 pada bulan ini, tepatnya pada tanggal sepuluh, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis salam dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya serta menenggelamkan mereka di laut merah.

 Di bulan ini juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad kuat untuk berhijrah ke negeri Madinah, setelah mendengar bahwa penduduknya siap berjanji setia membela dakwah beliau. Walaupun tekad kuat beliau ini baru bisa terealisasi pada bulan Shafar.

 Selain itu, di bulan ini terdapat ibadah puasa yang dikatakan oleh RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan sebagaimana hadits di atas.

 Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika ditanya tentang keutamaannya: “Menghapuskan dosa-dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim, no.1977 dari shahabat Abu Qotadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)

 BULAN MUHARRAM BUKAN BULAN SIAL
................................................

 Sebagian orang meyakini bulan Muharram sebagai bulan keramat yang tidak boleh dibuat acara dan bersenang-senang, sehingga banyak aktivitas tertentu yang ditunda atau bahkan dibatalkan. Lebih dari itu, mereka meyakini siapa yang mengadakan hajatan pada bulan ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. Sebagai contoh adalah pernikahan, mereka enggan menikahkan putra putrinya di bulan ini karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua mempelai.

 Ketika ditanya mengenai alasan mereka menilai bulan Muharram sebagai bulan keramat nan penuh pantangan, tidak ada jawaban berarti dari mereka, selain ’Beginilah tradisi kami’ atau ’Beginilah yang diajarkan bapak-bapak kami’.

Sikap mengikuti tradisi atau leluhur tanpa bimbingan Islam adalah terlarang, bahkan sikap seperti ini termasuk sifat orang-orang jahiliyah dan penyembah berhala pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi-nabi sebelumnya. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang jawaban orang-orang Quraisy ketika diajak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan kesyirikan, kata mereka (yang artinya),

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 22)

Demikian pula Fir’aun, ketika diajak oleh Nabi Musa ‘alaihis salam agar beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, ia malah berkata (yang artinya,

“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.
” (QS. Yunus: 78)

 Kemudian, anggapan sial untuk melakukan aktivitas tertentu, seperti hajatan dan semisalnya di bulan Muharram yang diyakini oleh keumuman masyarakat Jawa, dalam ajaran Islam disebut Tathoyyur atau Thiyaroh, yaitu meyakini suatu keburuntungan atau kesialan didasarkan pada kejadian, tempat, atau waktu tertentu.

 Anggapan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, maka ia dikategorikan ke dalam perbuatan syirik yang harus ditinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman (Artinya): ”Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131)

 Dalil yang menunjukkan bahwa Tathoyyur atau Thiyaroh termasuk kesyirikan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Thiyaroh adalah kesyirikan”, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad danAbu Daud, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu)

 Apabila kita telah mengetahui bahwa anggapan sial atau keberuntungan seperti itu termasuk kesyirikan, maka kewajiban kita selanjutnya adalah menjauhinya dan menjauhkannya dari anak dan istri kita dari keyakinan tersebut. Sehingga kita beserta keluarga kita tidak terjerembab kedalam kubangan dosa besar yang paling besar, yaitu dosa syirik.


 join telegram
 http://bit.ly/FadhlulIslam
 salafymedia.com
 Publikasi:
 WA Fadhlul Islam Bandung

sumber : http://manhajul-anbiya.net
 Majmu'ah Manhajul Anbiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar